- PKS Subang Menuju Babak Baru, Agus Masykur Bicara Regenerasi Kepemimpinan Partai
- KPAD Kab. Subang Dukung Program Barak dengan Penekanan pada Pemenuhan Hak Anak
- Fraksi PDIP Subang: Legislatif dan Eksekutif Dipilih Rakyat, Harus Saling Menguatkan
- Kang Ono Surono Kunjungi Masyarakat Subang : Dengar Aspirasi dan Soroti Ketimpangan Kebijakan
- Fraksi PDIP Walk Out dari Rapat DPRD Jabar, Protes Gaya Kepemimpinan Dedi Mulyadi
- Viking Subang Gelar Nobar BRI Liga 1: Ajang Silaturahmi Antar anggota
- RAKER DEWAN PENDIDIKAN KAB. SUBANG : Kolaborasi, Infrastruktur, dan Kesempatan yang Merata
- Tragedi Ledakan Amunisi TNI di Garut, 13 Orang Tewas
- Hajat Panen Tebu, Subang Targetkan PG Rajawali Aktif 2027
- Ketegangan Memuncak, India dan Pakistan Bentrok Hebat di Kashmir
Apakah dia mengalami Depresi? Cek Bicaranya

Jakarta, Beberapa orang pandai menyembunyikan perasaan, dari luar tampak baik-baik saja meski hatinya menangis tercabik-cabik. Para ilmuwan baru-baru ini berhasil menentukan dengan tepat tingkat keparahan depresi berdasarkan cara berbicara.
Dalam penelitian yang diklaim sebagai yang terbesar di dunia tersebut, para ilmuwan menemukan bahwa cara berbicara susah dipalsukan ketika seseorang sedang depresi. Perubahan cara bicara itu bisa dipakai untuk mengukur tingkat keparahan depresi yang dialami.
Adam Vogel, kepala Speech Neuroscience Unit di University of Melbourne mengatakan bahwa cara berbicara adalah penanda kesehatan otak yang sangat kuat. Berbagai perubahan yang terjadi pada cara berbicara bisa menunjukkan seberapa bagus otak bekerja.
"Cara berbicara orang yang sedang depresi berubah dan dipengaruhi oleh terapi yang diberikan, menjadi lebih cepat dengan jeda yang lebih pendek," kata Vogel dalam laporannya di jurnal Biological Psychiatry seperti dikutip dari Medindia, Selasa (21/8/2012).
Dalam penelitian tersebut, Vogel melakukan pengamatan terhadap 105 pasien yang sedang menjalani terapi untuk menyembuhkan depresi. Beberapa hal yang diamati antara lain waktu, nada dan intonasi bicara yang kemudian dibandingkan dengan hasil pemeriksaan psikologis.
Para pasien diminta melakukan panggilan telepon ke sebuah mesin penjawab otomatis. Ada yang diminta berbicara apa saja, mengungkapkan perasaan dan sebagian hanya diminta untuk membaca teks supaya tidak perlu repot-reopot memikirkan mau bicara tentang apa.
"Temuan ini memungkinkan para psikolog jadi lebih fleksibel dalam memeriksa pasien dari jarak jauh, hanya dengan mendengarkan pola dan cara berbicara meski dari lokasi yang sangat jauh atau di kampung-kampung," kata James Mundt dari Centre for Psychological Consultation di Wisconsin.
